tirto.id - Ketika mengumumkan akan menggencarkan perang dagang terhadap Cina atas nama slogan “Make America Great Again” pada 2018 lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump sama sekali tak punya keraguan AS akan mundur. Namun, kinerja keuangan Apple yang merosot boleh jadi mengubah segalanya.
Sejak Desember lalu, perang dagang AS dengan Cina memang memasuki masa resesi, setidaknya hingga bulan Maret mendatang. Kedua negara kini tengah bernegosiasi untuk menemukan jalan tengah yang dapat disepakati.
Kepala pemerintahan kedua negara, Trump dan Xi Jinping, sejak Senin (7/1) memang tengah berunding di Beijing. Meski dijadwalkan hanya berlangsung selama dua hari, pertemuan itu berlanjut hingga Rabu (9/1). Para pelaku pasar di seluruh dunia bereaksi positif.
Dilansir Reuters, harga-harga saham di Asia melonjak, sementara pasar saham di Eropa dan AS diperkirakan akan mengikuti tren positif tersebut. Para pelaku pasar optimistis bahwa kedua raksasa dunia akan mencapai kata sepakat. Di dunia maya, Presiden Trump mencuit bahwa pembicaraan dengan Cina berjalan baik.
Kedua negara memang telah merasakan dampak buruk perang dagang. Dilaporkan South Cina Morning Post, perekonomian Cina mengalami perlambatan. Pada November 2018, pertumbuhan penjualan ritel melambat menjadi 8,1 persen, tingkat yang paling rendah dalam 15 tahun terakhir. Pertumbuhan produksi industri juga melambat hingga ke angka 5,4 persen, terendah dalam 10 tahun terakhir.
Di sisi lain, sejumlah sektor industri di AS (pertanian, misalnya) juga terpengaruh. Namun, secara umum sektor-sektor lainnya tak mengalami dampak ekonomi yang sangat buruk.
Beberapa hari sebelum sepakat untuk melakukan "gencatan senjata" pada Desember, Wall Street Journal melaporkan Trump sempat melontarkan ancaman bahwa AS akan tetap meningkatkan angka tarif sebesar 25 persen terhadap sejumlah komoditas Cina senilai $200 miliar pada 1 Januari 2019. Namun, pada awal Desember 2018 kedua pihak sepakat melakukan "gencatan senjata" untuk menunda kebijakan itu 90 hari.
Ia bahkan juga mengatakan akan menerapkan tarif pada iPhone dan sejumlah laptop yang diimpor dari Cina. Trump percaya bahwa masyarakat AS takkan terpengaruh oleh kenaikan harga salah satu ponsel pintar terlaris di dunia itu.
“Mungkin. Mungkin. Tergantung pada berapa tarifnya,” kata Trump. “Maksudnya, saya bisa membuatnya jadi 10% dan masyarakat bisa bertahan [terhadap kenaikan harga] dengan sangat mudah.”
Perubahan sikap Trump bisa jadi dimulai pada pekan lalu, ketika Apple, salah satu perusahaan paling bernilai di dunia yang kini kerap disebut sebagai ‘wajah’ bisnis AS, mengumumkan bahwa perang dagang berpotensi menggerus pendapatan mereka di kuartal I-2019.
Koreksi Apple
Pada 2 Januari lalu, situs resmi Apple mengeluarkan rilis berjudul “Letter from Tim Cook to Apple Investors”. Kepada para investor, CEO Apple Tim Cook menuliskan pesan panjang bahwa perusahaan asal Cupertino tersebut kemungkinan tidak dapat mencapai target proyeksi pendapatan mereka pada kuartal I-2019 ini.
Apple memperkirakan pendapatan mereka pada kuartal ini mencapai kisaran $84 miliar. Padahal, pada proyeksi yang dirilis November tahun lalu, Apple memperkirakan pendapatan dapat mencapai $89 hingga $93 miliar pada kuartal ini.
Cook menyoroti perlambatan ekonomi Cina yang didorong oleh perang dagang kedua negara sebagai salah satu faktor utama di balik koreksi.
“Meskipun kami telah mengantisipasi sejumlah tantangan di pasar-pasar utama yang sedang berkembang, kami gagal melihat besarnya dampak dari perlambatan ekonomi, khususnya di Cina Raya,” tulis Cook. “Kami percaya situasi ekonomi di Cina telah lebih jauh dipengaruhi oleh meningkatnya ketegangan dagang dengan Amerika Serikat.”
Cook mengatakan kondisi tersebut berpengaruh pada turunnya kunjungan konsumen di Cina ke toko-toko retail serta partner dagang mereka pada Kuartal I-2019 ini. Namun, hal ini tak langsung membuat Cook pesimistis. Ia percaya bahwa masa depan bisnis Apple di Cina masih punya potensi cerah.
Cina memang pasar ketiga terbesar Apple. Penjualan perusahaan itu di Negeri Tirai Bambu itu mencapai $52 miliar pada tahun keuangan lalu dengan penjualan iPhone mendominasi kue penjualan mereka.
Tamparan Keras
Sebagaimana dilaporkan Reuters, begitu Apple mengumumkan koreksi pada proyeksi pendapatan mereka, Institute of Supply Management (ISM) mengeluarkan laporan bahwa pada bulan Desember 2018 aktivitas pabrik di AS mengalami penurunan lebih daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Indeks ISM turun menjadi 54,1 pada Desember dibandingkan 59,3 pada November. Penurunan ini merupakan yang terbesar sejak Oktober 2008.
“Ini mungkin salah satu poin data pertama yang menunjukkan hal-hal di dalam negeri dalam ekonomi AS mungkin sedikit melambat,” kata Michael Gapen, kepala ekonom AS di Barclays, seperti dilansir CNBC.
Sementara itu, Art Cashin, direktur operasi UBS di New York Stock Exchange mengatakan, “Selama ini mayoritas berita buruk [tentang perang dagang] datang dari Cina. Tapi rupanya kita ternyata juga rentan dan juga akan terkena dampak negatifnya.”
Cashin pantas untuk khawatir. Sejak kabar mengenai koreksi proyeksi Apple keluar dan ISM menemukan penurunan aktivitas ekonomi, bursa saham AS tersungkur, sebuah indikasi bahwa para investor memiliki ketakutan bahwa perlambatan ekonomi dapat sungguh terjadi. Indeks Dow Jones pada Kamis (3/1) ditutup turun 2,8 persen atau 660,02 poin pada posisi 22.686,22.
Winter Nie, profesor dari sekolah bisnis IMD, dalam esainya di Forbes, menuliskan bahwa situasi dunia internasional saat ini memang sudah berubah, dan kekuatan ekonomi Cina memang tidak dapat diremehkan.
Menurut Nie, Cina kini sudah memiliki teknologi serta teknik manufaktur yang telah mereka pelajari dari Barat. Lebih lanjut, mereka juga dapat mencari pengganti peran perusahaan-perusahaan AS di kawasan lainnya. Belum lagi ada kepentingan negara-negara berkembang yang saat ini makin tertarik untuk menjalin kerjasama dengan Cina.
Negara-negara berkembang, tulis Nie, kini menjadi pasar ekspor Cina dengan pertumbuhan yang luar biasa. Cina sendiri merupakan salah satu pasar terpenting bagi AS. Kasus Apple sudah membuktikan hal ini.
Masih dari CNBC, ekonom global Citigroup Cesar Rojas mengatakan bahwa dengan kondisi yang ada saat ini, peluang bagi AS dan Cina untuk mencapai kesepakatan terkait perdagangan kedua negara mulai terbuka. Namun, ia juga mengakui belum ada jaminan bahwa hal tersebut akan terwujud.
“Jendela peluang terbuka bagi AS dan Cina untuk mencapai kesepakatan,” sebut Cesar. “Pertumbuhan berjalan dengan kecepatan sedang di Cina, pasar ekuitas pun telah jatuh di AS dan Cina, dan ini pada dasarnya membuka jendela peluang [bagi kedua negara].”
Rojas mengatakan ekonomi AS memang masih kuat. Namun, hal tersebut dapat berubah, sementara perekonomian Cina dapat menjadi lebih stabil seiring dengan melemahnya pertumbuhan AS di akhir tahun sehingga dapat membuat keunggulan menjadi bergeser ke Cina.
Editor: Windu Jusuf